MENYELAMI QODHO DAN
QODAR
Seluruh kehidupan makhluk di bumi
maupun di langit tidak lepas dari takdir baik maupun buruk. Setiap episode yang
terjadi baik yang menyenangkan ataupun tidak, semuanya telah berada dalam
skenario Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Pengasih dan Maha Penyayang
sehingga suka atau tidak suka harus dijalani dengan hati ikhlas, ridho dan
tawakkal, menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah setelah berusaha semaksimal
mungkin.
Namun
masih banyak di antara umat Islam yang kurang menyadari dan menerima segala
keputusanNya terutama berhubungan dengan peristiwa yang di luar harapannya.
Kondisi ini membuat mereka menjadi frustasi, stress, kurang optimis menjalani
hidup, tidak tahan banting atau gampang menyerah kepada nasib (nrimo).Mereka
menganggap apa yang sudah dituliskan oleh Tuhan tidak mungkin berubah khususnya
dalam soal, umur, rezeki, jodoh, bahagia atau celaka.
Di
sisi lain, ada orang yang terlalu optimis, percaya penuh dengan kekuatan dirinya, sehingga dalam pemahaman
mereka, baik dan buruk nasib seseorang ditentukan oleh sejauh mana usahanya
sendiri tanpa adanya campur tangan Tuhan. Golongan ini sering diidentikkan dengan
golongan Mu’tazilah atau Qadariyah yang terlalu mendewa-dewakan akal dan usaha
manusia.
Ironisnya
orang yang berhaluan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sendiri lebih sering terjebak
dalam arus pemikiran paham Jabariyah yang mudah menyerah kepada takdir. Padahal
semestinya mereka dapat berposisi sebagai ummatan wasathon, golongan
yang menempuh cara-cara moderat, tidak terlalu lunak (Jabariy) maupun
terlalu rasional(Mu’taziliyy). Kesalahkaprahan ini umumnya bermuara dari
misinterpretasi ayat 49 surat Ar-Ra’d yang sering dihubungkan dengan hadits
keempat dalam kitab Al-Arba’in Al-Nawawiyah tentang adanya hal-hal yang tidak
mungkin dirubah lagi oleh manusia yakni soal umur, rezeki, amal, bahagia atau
celaka[1]
Maka
diperlukan suatu pembenahan (rekontruksi) dalam memahami qadha dan qadar
supaya tidak membawa dampak negatif
dalam kehidupan orang yang beriman, sehingga diharapkan mereka memiliki etos
kerja yang tinggi, mau berkompetisi dengan orang lain secara sehat, saling
tolong menolong tanpa merasa tersaingi, menghargai keyakinan orang lain, serta
gigih dalam berjuang.
Pengertian Qadha dan Qadar
Para ulama ahli tauhid berbeda pendapat dalam mendefinisikan
qadha dan qadar. Adapun qadha menurut penganut Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
versi Al-Asy’ary adalah kehendak-kehendak Allah baik maupun buruk yang
dituliskan pada Lauhil Mahfuzh[2] di
zaman azaly[3],
Sedangkan qadar adalah segala sesuatu yang diwujudkan Allah dalam ukuran
tertentu sesuai dengan kehendakNya. Maka kehendak Allah di zaman azaly
bahwasanya Anda akan menjadi ahli ilmu (‘alim) disebut dengan qadha, dan
penguasaan ilmu pada diri Anda sesudah keberadaanmu di dunia sebagaimana
kehendakNya itu dinamakan qadar. Dengan kata lain, qadar adalah aplikasi dari qadha.
Sementara
menurut penganut Ahl al-Sunnah wa al- Jama’ah versi al-Maturidiyah, qadha
adalah segala sesuatu yang diwujudkan Allah berdasarkan pengetahuanNya akan
sifat-sifat makhluk (baik dan buruk, manfaat atau bahayanya dan sejenisnya)pada
zaman azaly, sedang qadar diartikan sebagai segala sesuatu yang diwujudkan
Allah di luar zaman azaly sesuai dengan pengetahuanNya. Jadi pengetahuan Allah
di zaman azaly bahwasanya seseorang akan menjadi ahli ilmu sesudah berada di
alam dunia, disebut qadha dan menganugerahkan ilmu padanya sesudah berada di
dunia disebut dengan qadar. Dalam soal ini, pendapat al-Asy’ariyah lebih
masyhur ketimbang pendapat al-Maturidiyah. Singkat kata, qadha itu bersifat qadim
(terdahulu) dan qadar bersifat haadits (baru). Baik Al-Asy’ariyah maupun
al-Maturidiyah sepakat bahwa qadha dan qadar adalah bermakna kehendak Allah
Ta’ala.[4]
Adapun
kata “takdir” yang sering digunakan dalam bahasa pergaulan manusia
pengertiannya sebangun dengan qadar. Kata tersebut berasal dari kata qaddara
yang akar katanya adalah qadara yang bermakna antara lain mengukur,
memberi kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, “Allah telah
menakdirkan demikian’” maka itu berarti, “Allah telah memberi
kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal
makhlukNya” Dengan begitu mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu,
dan Allah Swt.menuntun dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju.[5]
Kontroversi Seputar Iman
Kepada Qadha dan Qadar
Memang di dalam al-Qur’an
tidak disebutkan secara eksplisit keimanan kepada qadha dan qadar, berbeda
dengan keimanan kepada lima perkara lainnya yang disebutkan dengan tegas.
Al-Qur’an hanya melukiskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta
telah ditetapkan atau ditentukan kadar dan waktunya[6]
Apa saja yang dikehendakiNya pasti terjadi, sebaliknya apa saja yang tidak dikehendakiNya
maka tidak akan terjadi.[7]Meski
tidak disebutkan sebagai bagian keimanan secara spesifik, bukan berarti
keimanan kepada qadha dan qadar tidak penting. Ia dianggap telah implisit ke
dalam iman kepada Allah SWT. dikarenakan keduanya saling terkait erat.
Adapun keimanan
kepada qadha dan qadar secara tegas dapat ditemukan dalam hadits riwayat Muslim
dari Umar ibn Khaththab r.a[8]
yang terkategori hadits Ahad[9].
Mengenai status hadits Ahad, kalangan penganut madzhab Hanafy, madzhab Syafi’I,
jumhur madzhab Maliky, dan selainnya menganggap bahwa hadits Ahad itu tingkat
elektabilitasnya sebatas zhan (persangkaan); kendati demikian tetap
wajib diamalkan. Berbeda dengan pendapat Imam Ahmad (madzhab Hambaly), sebagian
ahli hadits, Dawud al-Zhahiry, dan ibn Hazm yang menyatakan bahwa tingkat
elektabilitas hadits ahad yang bisa mencapai derajat ilmu al-yaqin[10]
dan wajib diamalkan, karena tidak boleh beramal tanpa ilmu.[11]
Kontroversi
penerimaan terhadap qadha dan qadar ini juga disinggung oleh Quraish Shihab dalam
pembahasan tematis tentang qadha dan qadar. Beliau mengemukakan bahwa Alqur’an
memang tidak menggunakan istilah “rukun” untuk takdir, bahkan tidak pernah pula
menyebut kata takdir dalam suatu rangkaian ayat yang berbicara tentang kelima
perkara keimanan lainnya[12]
Bahkan Nabi Muhammad saw juga tidak menyebutkan
demikian dalam hadits Jibril yang berbicara tentang iman, Islam, dan ihsan. Karena itu,
agaknya dapat dimengerti jika sebagian ulama tidak menjadikan qadha dan qadar
sebagai salah satu rukun iman. Akan tetapi bukan berarti bahwa takdir tidak
wajib dipercayai. Karena Allah SWT menuntut keimanan menyangkut segala sesuatu
yang disampaikan Rasulullah saw., baik dalam enam perkara yang disebutkan dalam
hadits Jibril tadi maupun perkara lainnya yang tidak disebutkan.[13]
Salah Kaprah Seputar Klasifikasi
Qadha dan Qadar
Di tengah masyarakat Muslim khususnya di Indonesia masih
banyak orang-orang yang mempercayai bahwa masalah umur, jodoh, rezeki, bahagia
atau celaka merupakan ketentuan Allah yang tidak mungkin berubah (Qadha
Mubram)[14],
sehingga sekuat apapun usaha manusia tetap saja tidak akan mampu merubahnya.
Implikasinya menjurus kepada tumbuhnya sikap-sikap apatisme dan fatalisme, etos
kerja dan etos juang mereka pun melemah. Keyakinan ini merujuk kepada
penjelasan Rasulullah Saw.,tentang penciptaan manusia beserta nasibnya yang
diuraikan dalam hadits riwayat al-Bukhary dan Muslim sebagai berikut:
عَنْ
اَبِى عَبْدِ الرَّحْمٰنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ (ض) قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ
اللهِ ص.م وَ هُوَ الصَّادِقُ اْلمَصْدُوْقُ:
اِنَّ اَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ اُمِّهِ اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً
ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذٰلِكَ, ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذٰلِكَ, ثُمَّ
يُرْسَلُ اِلَيْهِ اْلمَلَكُ فَيُنْفَخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَيُؤْمَرُ بِاَرْبَعِ كَلِمَاتٍ:
بِكَتْبِ رِزْقِهِ, وَاَجَلِهِ, وَعَمَلِهِ, وَشَقِيٌّ اَوْ سَعِيْدٌ. فَوَاللهِ اَلَّذِىْ
لاَ اِلٰهَ غَيْرُهُ اِنَّ اَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ اَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى
مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا اِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ اْلكِتَابُ
فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ اَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا, وَاِنَّ اَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ
بِعَمَلِ اَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا اِلَّا ذِرَاعٌ
فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ اْلكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ اَهْلِ اْلجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا (رواه البخارى و مسلم)
“Dari Abu
Abdurahman, Abdullah ibn Mas’ud r.a berkata: Rasulullah saw telah bertutur
kepada kami, dan beliau adalah orang yang jujur dan dipercaya: ”Sesungguhnya
salah seorang di antara kalian akan
dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 (empat puluh) hari berupa
sperma, kemudian menjadi segumpal darah dalam tempo yang sama, kemudian menjadi
segumpal daging dalam tempo yang sama, kemudian diutuslah seorang malaikat yang
meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan untuk menuliskan 4 (empat) kalimat;
yakni dituliskan rezekinya, umurnya, amalnya, dan bahagia atau celakanya. Demi
Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia, sesungguhnya salah seorang di antara kalian
sungguh beramal dengan amalan penghuni surga sehingga jarak antara dia dan
surga tinggal sehasta. Lalu ketetapan Allah berlaku lebih dulu atasnya
(tertulis penghuni neraka), lalu ia beramal dengan amalan penghuni neraka
hingga akhirnya ia memasukinya. Dan sesuangguhnya salah seorang di antara
kalian sungguh beramal dengan amalan penghuni neraka sehingga jarak antara ia
dan neraka tinggal sehasta, lalu ketatapan Allah lebih dulu berlaku atasnya
(tertulis ahli surga), lalu ia beramal dengan amalan penghuni surga sampai
akhirnya ia masuk ke dalamnya.”(H.R. al-Bukhary dan Muslim)
Hadits
ini dipakai oleh sebagian besar umat Islam sebagai justifikasi atas berlakunya
qadha mubram, yakni ketetapan Allah yang tak mungkin berubah menyangkut umur,
rezeki, amal, bahagia atau celakanya seseorang. Akan tetapi substansi hadits
ini nampak bertentangan dengan Q.S.Ar-Ra’d ayat 39 yang menjelaskan kemungkinan
berubahnya qadha Allah Swt termasuk dalam empat perkara tersebut. Ditegaskan
dalam firmanNya:
يَمْحُو
اللهُ مَا يَشَاءُ وَ بُثْبِتُ وَ عِنْدَهُ اُمُّ الْكِتَابِ
“Allah akan menghapus apa-apa yang dikehendakiNya
dan menetapkan (apa-apa yang dikehendakiNya), dan di sisiNya-lah terdapat Ummul
Kitab (Lauh Mahfuzh).”
Ibnu Abbas r.a
menafsirkan ayat ini secara tegas bahwasanya Allah bisa mengganti atau
menetapkan apa saja yang Dia kehendaki selain kematian, kehidupan, bahagia dan
celaka karena hal itu sudah selesai ditetapkan olehnya pada zaman azaly,
sehingga tidak bisa dirubah lagi.
Pendapat beliau
inilah yang dianut oleh sebagian besar
umat Islam yang apabila kita timbang maslahat dan madharatnya, maka lebih
cenderung kepada timbulnya madlarat yang lebih besar. Dampaknya sangat terasa
terutama pada masa penjajahan, di mana nyaris setiap jengkal tanah negeri kaum
Muslimin terjajah oleh bangsa kafir dalam waktu yang lama.. Kendati ada
beberapa perlawanan, akan tetapi tidak terlalu signifikan karena propaganda
yang menganggap penjajahan itu sebagai takdir yang harus dijalani. Lalu
kemunduran umat Islam dalam bidang ekonomi,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketegangan sosial antara
umat Islam dengan non Muslim antara lain dipicu oleh pemahaman yang keliru tentang qadha dan qadar.
Padahal jika
kita menelaah lebih lanjut tentang
penafsiran ayat dan hadits di atas, terdapat pendapat yang lebih brilian,
positif dan konstruktif bagi kehidupan beragama umat Islam seperti pendapat dua
sahabat Nabi yang utama yakni Umar bin Khaththab dan Ibnu Mas’ud r.a. Mereka
berpendapat bahwa penghapusan dan penetapan segala keputusan Allah itu berlaku
untuk segala perkara.[15]
Dengan kata lain, tidak ada yang tetap, semua bisa berubah dengan ikhtiar
sebaik dan semaksimal mungkin apa yang kita bisa.
Secara tekstual,
kita akan menemukan banyak sekali keterangan Nabi tentang amalan-amalan yang
dapat memperpanjang umur seperti silaturahmi, sedekah, dan do’a.[16]
Begitu pula soal rezeki, ada hal-hal yang dapat menarik rezeki dan yang
menghambat rezeki.[17] Lalu
dalam soal amal, bahagia dan celakanya seseorang, Allah Swt. lebih menekankan
ikhtiar yang sungguh-sungguh dari kita untuk merubah nasib,[18]
disertai dengan do’a agar husnul khotimah (akhir hidup yang baik) dan
supaya Allah jangan menyesatkan hati kita setelah Dia memberi petunjuk
(hidayah).[19].Hal itu
semua merupakan indikasi bahwa keempat perkara dimaksud tadi besar kemungkinan
dapat berubah. Jika tidak mungkin berubah, mustahil Nabi Saw. menyampaikan
hadits tentang panjang umur dan seterusnya.
Adapun secara
faktual, tidak ada seorang pun yang dapat melihat dan mengetahui bagaimana
nasibnya yang tertulis di Lauh al-Mahfuzh, apakah panjang umur atau pendek
umur?, siapakah jodohnya?, bagaimana rizkinya?, apakah kaya atau miskin?,
apakah amalnya itu amalan penghuni surga atau neraka?, dan apakah akhir
hayatnya husnul khotimah atau su’ul khotimah? Semuanya masih gelap dan gaib.
Karena itu kita harus berusaha sambil berdo’a agar panjang umur, jodoh harus
dicari, rezeki mesti dijemput dengan kerja keras dan kerja cerdas, hidup kaya
yang bertaqwa mesti diupayakan, serta mendekati sumber-sumber hidayah dan
menjauhi sumber-sumber maksiyat supaya bisa wafat husnul khotimah. Singkat
kata, kita dituntut untuk terus merubah diri dengan berdo’a, berusaha dan
akhirnya bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Kuasa.
Cara Efektif Aplikasi Keimanan
Kepada Qadha dan Qadar
Beriman
kepada qadha dan qadar memiliki makna membenarkan bahwasanya Allah Ta’ala telah
menakdirkan segala kebaikan dan keburukan di zaman azaly sebelum menciptakan
seluruh makhluk. Maka tidak ada kebaikan dan keburukan, kemanfaatan dan
kemadlaratan, kecuali dengan qadha dan qadar Allah, kehendak dan idzinNya. Apa
saja yang ditakdirkan olehNya, pasti terjadi dan apa saja yang tidak
dikehendakiNya, tidak akan terjadi. Allah Ta’ala berfirman: “Sesngguhnya segala
sesuatu Kami ciptakan dengan qadaq tertentu.”(Q.S.AlQamar:49)
Semua
perbuatan hamba-hamba Allah, baik yang berdasarkan kehendsk manusia sendiri (ikhtiyariyah)
maupun”pemaksaan”dari Allah (idlthirariyah) semuanya diciptakan olehNya.
Akan tetapi setiap hamba memiliki bagian ikhtiar untuk melakukan sesuatu atau
meninggalkannya yasng dinamakan dengan kasab. Dan karenanya manusia mendapat
beban taklif berupa pelaksanaan hukum-hukum syari’at, yang akan menyebabkan
dirinya mendapat pahala atau siksaan. Adapun terhadap segala bentuk
kemaksiyatan dan kekufuran, kita tidak diperbolehkan ridha (rela) terhadapnya.
Sebab Allah Ta’ala pun tidak meridloinya. Jadi kemaksiyatan atau kekufuran
adalah ekses dari kebijakanNya (maqdhi ‘alaih) dan hal tersebut bukanlah
qadhaNya. Di dalam al-Qur’an ditegaskan: “Dan Dia tidak ridho terhadap
kekufuran pada hamba-hambaNya (Q.S.AZ-Zumar :7) [20]
Adapun cara
efektif untuk mengaplikasikan keimanan kepada qadha dan qadar adalah sebagai berikut:
1.
Memilih takdir yang terbaik untuk
diri kita.
Segala
episode kehidupan manusia tidak terlepas dari takdir baik atau buruk. Sehat
atau sakit, sukses atau gagal, untung atau rugi, senang atau susah, semuanya
berada dalam takdir ilahi. Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat memberi kebebasan
memilih kepada manusia, bahkan hingga dalam soal nukmin atau kafir.[21]
Seluruhnya tinggal terserah kita. Karena masing-masing pilihan ada resiko dan
akibat yang ditimbulkannya, dan kita harus bertanggungjawab atas hasil pilihan
tersebut. Namun sebagai mukmin yang baik, kita diperintahkan untuk memilih
takdir yang terbaik untuk kita dan semaksimal mungkin menghindarkan kemungkinan
buruk yang akan menerpa kita.
Dengan bagian
ikhtiar yang diberikan Allah, manusia diberi kebebasan memilih yang baik atau
buruk. Menurut Al-Qur’an, demikian Mahmud Syaltut, manusia bebas memilih perbuatan yang akan dilakukannya. Ia
bebas pula menentuksan kepercayaaan yang dianutnya dan dia akan memperoleh
sesuatu baik hukuman atau pahala sesuai dengan pilihannya itu. Allah hanya
menunjukkan jalan yang seyogyanya diikuti oleh manusia. Manusia bebas memilih
untuk menuruti atau tidak menuruti jalan itu. Allah tidak mengganggu pilihan
manusia. Oleh karena itu manusia harus melakukan penyelamatan atas drinya dan
penyelamatan ini hanya terdapayt dalam beriman dan beramal saleh. Beramal saleh
artinya berbuat sesuatu yang baik yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang
lain, dan masyarakat. Di dalam Al-Qur’an perkataan iman selalu diikuti dengan
perkataan amal saleh sebagai syarat bagi manusia untuk memasuki surga yang
telah disediakan Allah.[22]
Dalam sejarah
Islam, kita dicontohkan oleh para sahabat bagaimana kita mesti meemilih takdir
yang terbaik untuk diri sendiri. Misalnya ketika Sayyidina Ali krw. berteduh di
bawah bangunan tua yang hampir runtuh, lalu beliau segera pindah menghindar.
Ketika ditanyakan kepadanya mengapa ia menghindasr dari takdir Tuhan?, lalu
jawaban beliau: “Saya menghindari takdir Allah (yang jelek yakni tertimpa
reruntuhan bangunan) untuk menuju takdir Allah yang lebih baik lagi (selamat
dari reruntuhan)”[23]
Maka janganlah
tergesa-gesa menyalahkan Allah apabila seseorang menderita sakit, gagal atau
rugi, menjadi bodoh, miskin, atau kafir. Sebaliknya introspeksilah diri sendiri, sudah sejauh manakah usahanya untuk
memperbaiki nasib agar menjadi lebih baik dan terhindar dari musibah atau nasib
yang kurang menguntungkan tadi. Jika kita sudah sekuat tenaga berjuang untuk
memilih takdir yang baik, tapi akhirnya buruk juga, maka di sinilah gunanya
bertawakkal, yakni menyerahkan hasil akhir upaya kita kepada Allah sesudah kita
berusaha semaksimal mungkin. Barulah kita membutuhkan langkah kedua yang
konstruktif dalam memahami takdir yaitu jangan berburuk sangka terhadap segala
keputusannnya.
2.
Berbaik sangka terhadap segala
keputusan Allah
Sebagai
Dzat Yang Maha Bujaksana tentu Allah selalu mempwerhatikan sisi-sisi
kemaslahatan untuk makhluknya dan menjauhkan mereka dari segala hal yang dapat
merugikan mereka. Karena itulah di setiap keputusanNya pasti terdapat hikmah
yang dapat dipetik.di kemudian hari yang pasti bermanfaat untuk kematangan jiwa
dan kesuksesan setiap hambaNya. Hanya saja manusia terlalu mudah terbawa kepada
kenikmatan sesaaat. Tidak sedikit yang menganggap dirinya mengalami kenahasan
atau bernasib apes tatkala mengalami musibah atau episode yang buruk lainnya.
Padahal belum tentu nasib malang yang diterimanya adalah suatu wasilah atau
jembatan untuk menuju kondisi yang jauh lebihnbaik dari sebelumnya.
Abu
Nashr Muhammad bin Abd al-Rahman al-Hamdany memaparkan beberapa peristiwa pahit
yang dialami oleh para pendahulu kita seperti Nabi Isa a.s.yang difitnah,
dicaci maki, bahkan mau dibunuh oleh kaumnya, Bani Israil, namun justeru
penderitaan itulah yang membuat Nabi Isa dinaikkan ke langit kedua, yang
berarti derajat beliau ditinggikan oleh Allah Ta’ala. Begitu pula dengan nasib
Nabi Yusuf a.s yang ditakdirkan Allah menjadi Raja di Mesir, tapi uniknya
sebab-sebab yang mengantarkan beliau kepada derajat mulia itu adalah perlakuan
yang buruk dari saudara-saudaranya. Mereka iri dengki (hasud) kepada
Yusuf yang ternyata lebih disayangi oleh ayah mereka, Nabi Ya’kub a.s.,
sehingga mereka merancang skenario pembunuhan Yusuf. Tapi berkat pertolongan
Allah, akhirnya Yusuf selamat dari usaha pembunuhan itu. Ia dikeluarkan dari dalam sumur dan
dijual oleh kafilah pedagang yang menemukannya Rupanya ujian tidak berhenti
sampai di sini. Nabi Yusuf pun dimasukkan ke dalam penjara karena difitnah
telah melakukan serong terhadap Siti
Zulaikha, orang yang memungut dan membesarkannya. Justeru dari situlah akhirnya
ia dipercaya menjadi pembesar Negeri Mesir berkat kejujuran dan kecakapannya.[24]
Hikmah
yang dipetik dari peristiwa di atas adalah bagaimana pun kepahitan yang kita
rasakan, belum tentu itu merupakan “kebencian” dari Allah. Justeru kita harus
berbaik sangka terhadap segala keputusanNya. Bahkan di kalangan ulama sufi,
terdapat semboyan yang berbunyi “Af’al Allah kulluha hasanah” (perbuatan
Allah seluruhnya adalah baik). Anggapan buruk manusia terhadap musibah yang
terjadi, semata-mata bersumber dari hawa nafsu yang cenderung memaksakan
kehendak yang buruk dan menilai sesuatu secara subyektif. Padahal jika
dicermati lebih lanjut, pastilah ada blessing in disguise, di balik
malapetaka, pasti ada rahmat. Sama halnya jika manusia melihat tahi lalat
seseorang. Jika pandangan kita hanya tertuju pada tahi lalatnya semata, maka
yang akan tergambar adalah secuil daging kenyal hitam yang menggelikan atau
menjijikkan. Akan tetapi jika kita melihat secara keseluruhan wajah seseorang,
justeru tahi lalat itulah yang mempermanis atau mempercantik wajah orang yang
bersangkutan.
Seumpama ada
orang yang sudah berusaha untuk hidup sehat dengan rajin berolah raga,
berpuasa, menjaga makanan dan minuman, namun suatu hari menderita sakit juga,
maka sikap terbaik bagi orang yang beriman adalah menerima takdir tersebut
dengan penuh ketawakkalan dan husnu zhan. Sebab tidaklah Allah memberikan
cobaan kepada seseorang melainkan dosa-dosanya akan diampuni olehNya,[25]
atau ditingkatkan derajatnya, atau dilimpahkan pahala yang tak terhingga atas
kesabarannya.[26] Bisa
pula berarti Allah Ta’ala mencintainya. Karena jika Dia mencintai seseorang,
pasti akan dicobanya.[27]Jadi
sebenarnya sakit itu juga hakikatnya tidak buruk bagi seorang hamba jika dapat
memahami hikmahnya.
Demikian
pula jika ada orang yang sudah bekerja keras, hidup prihatin, namn masih saja
bernasib miskin, maka jangan pula berburuk sangka bahwa Allah tidak adil
terhadapnya. Sebaliknya introspeksi terlebih dahulu. Bisa jadi ia masih miskin
karena kebodohannya.Bukankah jika seseorang berpendidikan tinggi, nasibnya akan
lebih baik? Lagi pula Allah jadikan miskin dan kaya itu hikmahnya, pertama:
agar ada keseimbangan. Karena sukar dibayangkan jika semua orang hidup kaya
raya. Siapakah yang mau menjadi pembantu rumah tangganya, karyawan yang bekerja
di perusahaanya, atau apabila wc-nya mampat, siapakah orang kaya yang sudi
melakukannya?. Sebaliknya jika semuanya hidup miskin, siapakah yang akan
menolong dan menyantuni fakir miskin kalau bukan orang kaya?. Dengan adanya
yang kaya dan miskin terciptalah keseimbangan dalam kehidupan manusia. Alasan
kedua: adalah agar orang yang kaya dan miskin saling tolong-menolong, dukung
mendukung, saling membutuhkan satu sama lain.[28]
Dalam
lain peristiwa, ada orang yang di-PHK dari tempatnya bekerja. Saat itu
dirasakannya dunia seerti mau kiamat. Bagaimana nasib istri dan anak-anaknya
nanti? Terbersit tanda tanya dalam dirinya, mengapa Tuan sampai hati melakukan
hal itu terhadapnya?. Akan tetapi beberapa bulan kemudian Allah menjawab
pertanyaannya itu dengan episode yang indah, di mana ia dikehendaki untuk
berwirausaha. Lambat laun usahanya itu berkembang maju, sehingga ia bisa
merekrut banyak pemuda pengangguran menjadi karyawannya, sementara ia sendiri
menjadi Bos mereka. Pada akhirnya ia berkata: “Untung saya dulu di-PHK,
sehingga sekarang saya bisa jadi Bos dan punya banyak karyawan. Coba jika
dahulu tidak di-PHK, mungkn terus menjadi karyawan sampai tua.”
Demikianlah
rahasia-rahasia takdir Allah yang misterius dan sulit ditebak. Yang penting
kita sikapi adalah janganlah sekali-kali berburuk sangka terhadap keputusanNya,
perbanyaklah introspeksi diri, yakinlah bahwa di balik malapetaka pasti ada
rahamatNya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Abd al-Mu’thy Muhammad Nawawy al-Jawy, Kasyifat al-Saja,
Dar Ihya al-Kutub Al-Arabiyah, Indonesia ,
tt
Abu Nashr Muhammad ibn Abd al-Rahman al-Hamdany, al-Sab’iyyat fi
Mawa’idz al-Bariyyat, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, 1994
Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawy, Riyad al-Sholihin, Dar
el-Fikr, Libanon,1994
________________________,
Al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah Muhammad ibn Ahmad ibn Nabhan wa
Auladuhu, Surabaya ,
tt
Ahmad ad-Dairoby, Mujarrobat ad-Dairabil kabir, Daruts Tsaqofah
al-Islamiyah,Beirut,tt
Ahmad bin Hijazy al-Fasyani,
Al-Majaalisus Saniyyah, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, ttp.,
Aly bin Muhammad al-Jurjany, Al-Ta’rifat, Al-Haramain
Singapura, Jeddah, Indonesia,2001
Al-Habib Zain ibn Ibrahim ibn Smith Ba Alawy al-Husainy, Syarh Hadits
Jibril, Dar al-Ulum wa al-Dakwah dan Dar al-Ulum al-Islamiyah, Surabaya, 2006
Husein Qodri, Senjata Mukmin,
Amanah, Banjarmasin, 1991
Ibnu ‘Atho’illah As-Sukandary, Syarh al-Hikam, Syirkah An-Nuur Asia, Jakarta, ttp
Ibrahim al-Bajuri, Jauhar al-Tauhid, al-Syirkah al-Nur Asia,
Jakarta, tt
Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Syuyuthi, Al-Jami’
al-Shoghir, Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia,tt
Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Dar al-Qolam,1966
Maulana Muhammad Zakaria al-Kandahlawi, Himpunan Fadhilah Amal,
terjemahan Fadha’il Qur’an oleh A. Abdurrahman Ahmad dkk, Ash-Shaff,
Yogyakarta, 2006
Muhammad Ajjaj al-Kahotib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu,
Dar el-Fikr, Libanon,1989
Muhammad Ali Al-Shabuny, Shafwat al-Tafasir, Dar al-Fikr,
Libanon, 1976
Muhammad Naway bin Umar al-Jawy,
Nashoihul ‘Ibad, Maktabah Raja
Murah, Semarang, ttp.,
Norman Vincent Peale, Berpikir Positif Setiap Hari, Terjemahan “The
Positive Principle Today” oleh Joko Khohar, Ragam Media, Yogyakarta, 2009
Sayyid Muhammad Alawy
al-Maliky, Abwaabul Faraj,
Al-Haramain Jaya Indonesia, 2001
Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997
Yusuf bin Isma’il An-Nabhany, Afdholus Sholawat, Dar el fikr,
Beirut, Libanon, tt
Zainuddin al-Maliabry, Irsyadul Ibad, Syirkah Maktabah al-Madinah, Jakarta, ttp,
[1] Yahya ibn Syaraf al-Din al-Nawawy, Matn
al-Arba’in Al-Nawawiyyah Maktabah Muhammad ibn Ahmad ibn Nabhan wa Auladuhu, Surabaya ,tt, hal.26
[2] Lauh
Mahfuzh ialah batu tulis yang terbuat dari cahaya, tempat Allah SWT.menuliskan
semua keputusanNya terhadap semua makhlukNya.hingga hari kiamat.Lebih lanjut
lihat.Al-Syekh Ibrahim al-Baijury, Jauhar al-Tauhid, Al-Syirkah al-Nuur Asia,
tt, hal108
[3] Zaman Azaly adalah zaman di saat Allah belum
menciptakan segala sesuatu. Azaly berarti pula qadim, yakni sesuatu yang tidak
didahului oleh ketiadaan. Lihat: Al-Syarif ‘Aly ibn Muhammad al-Jurjany,
Al-Ta’rifat, Al-Haramain, Singapura-Jeddah-Indonesia,2001, hal.15.
[4] Abu Abd al-Mu’thy Muhammad Nawawy al-Jawy,
Kasyifat al-Saja,Dar Ihya al-Kutub al-Arobiyyah, Indonesia , tt. hal.12.
[6] Lihat: Q.S.9:51, Q.S.57:22.
[7] Lihat Q.S.2:102, Q.S.3:145
[8] Yahya
bin Syaraf al-Din al-Nawawy, op.cit., hlm. 16-17
[9]
Hadits Ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat Mutawatir atau
disandarkan kepada seorang perawy (lihat:Zain al-Din Muhammad ibn Bir Ali Muhyi
al-Din al-Barkawy,al-Thariqah al-Muhammadiyah, Syirkah Bungkul Indah, Surabaya , hal.3,
[10] Ilmu
al-yaqin maksudnya adalah keyakinan yang didasari oleh ilmu pengetahuan
[11]
Muhammad Ajjaj al-Khotib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Dar
al-Fikr, Libanon,1989, hal.302-303
[12] lih. Q.S.Al-Baqarah :285, Q.S.An-Nisa’ :136
[14] Sebagaimana telah diketahui, bahwasanya Qadha
itu terbagi dua bagian yakni Qadha Mubram, keputusan Allah yang tidak mungkin
berubah meliputi umur, rezeki, amal dan bahagia atau celakanya seseorang, dan
Qadha Muallaq : Keputusan Allah yang dapat berubah jika seseorang berusaha
merubahnya yang meliputi selain empat perkara tadi seperti bodoh atau pintar,
gagal atau sukses,dan sejenisnya. Sebenarnyakeyakinan ini berasal dari pendapat
ibnu Abbas r.a yang nanti akan dibahas lebih lanjut dalam bagian ini.
[16] Di antara yang dapat memperpanjang umur:
silaturrahmi(H.R. al-Bukhary dan Muslim, sedekah dan do’a (H.R.al-Tirmidzy)
[17] Di
antara yang menambah rezeki ialah sedekah (H.R.al-Baihaqy, Ibnu ‘Ady dan Abu
Syekh), beristighfar (Q.S.71:10-12):
[18] Lihat
Q.S.13:11, Q.S.29:69
[19] Lihat :
Q.S.3:8
[20]
Al-Habib Zain ibn Ibrahim ibn Smith Ba ‘Alawy al-Husainy, syarh Hadits Jibril,
Dar al-Ulum wa al-Dakwah wa Dar al-Ulum al-Islamiyah,Surabaya,2006,
hal.135-136.
[21]
Lih.Q.S.Al-Kahfi: 29
[22] Mahmud
Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Dar al-Qalam,1966:52-53
[24]
Abu Nashr Muhammad ibn Abd al-Rahman al-Hamdany, al-Sab’iyyat fi Mawa’izh
al-Bariyyat, Maktabah Usaha keluarga, Semarang ,
1994, hal.15
[25] Abi
Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawy, Riyadh
al-Shalihin, Dar al-Fikr, Libanon, 1994, hal.17
[26] lih.
Q.S.Az-Zumar : 10
[27] Abi
Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawy, op.cit. hal.18
[28] lih.
Q.S.Az-Zukhruf : 32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis Pesan atau komentar dengan sopan!