SELAMAT DATANG DI YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM SABILURRAHIM !!!! SEMOGA BERMANFAAT !! AMIIN !!!

MENYELAMI QODHO DAN QODAR


MENYELAMI QODHO DAN QODAR

             Seluruh kehidupan makhluk di bumi maupun di langit tidak lepas dari takdir baik maupun buruk. Setiap episode yang terjadi baik yang menyenangkan ataupun tidak, semuanya telah berada dalam skenario Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Pengasih dan Maha Penyayang sehingga suka atau tidak suka harus dijalani dengan hati ikhlas, ridho dan tawakkal, menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah setelah berusaha semaksimal mungkin.

            Namun masih banyak di antara umat Islam yang kurang menyadari dan menerima segala keputusanNya terutama berhubungan dengan peristiwa yang di luar harapannya. Kondisi ini membuat mereka menjadi frustasi, stress, kurang optimis menjalani hidup, tidak tahan banting atau gampang menyerah kepada nasib (nrimo).Mereka menganggap apa yang sudah dituliskan oleh Tuhan tidak mungkin berubah khususnya dalam soal, umur, rezeki, jodoh, bahagia atau celaka. 

            Di sisi lain, ada orang yang terlalu optimis, percaya penuh dengan  kekuatan dirinya, sehingga dalam pemahaman mereka, baik dan buruk nasib seseorang ditentukan oleh sejauh mana usahanya sendiri tanpa adanya campur tangan Tuhan. Golongan ini sering diidentikkan dengan golongan Mu’tazilah atau Qadariyah yang terlalu mendewa-dewakan akal dan usaha manusia.

            Ironisnya orang yang berhaluan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sendiri lebih sering terjebak dalam arus pemikiran paham Jabariyah yang mudah menyerah kepada takdir. Padahal semestinya mereka dapat berposisi sebagai ummatan wasathon, golongan yang menempuh cara-cara moderat, tidak terlalu lunak (Jabariy) maupun terlalu rasional(Mu’taziliyy). Kesalahkaprahan ini umumnya bermuara dari misinterpretasi ayat 49 surat Ar-Ra’d yang sering dihubungkan dengan hadits keempat dalam kitab Al-Arba’in Al-Nawawiyah tentang adanya hal-hal yang tidak mungkin dirubah lagi oleh manusia yakni soal umur, rezeki, amal, bahagia atau celaka[1]

            Maka diperlukan suatu pembenahan (rekontruksi) dalam memahami qadha dan qadar supaya  tidak membawa dampak negatif dalam kehidupan orang yang beriman, sehingga diharapkan mereka memiliki etos kerja yang tinggi, mau berkompetisi dengan orang lain secara sehat, saling tolong menolong tanpa merasa tersaingi, menghargai keyakinan orang lain, serta gigih dalam berjuang.

Pengertian Qadha dan Qadar

            Para ulama ahli tauhid berbeda pendapat dalam mendefinisikan qadha dan qadar. Adapun qadha menurut penganut Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi Al-Asy’ary adalah kehendak-kehendak Allah baik maupun buruk yang dituliskan pada Lauhil Mahfuzh[2] di zaman azaly[3], Sedangkan qadar adalah segala sesuatu yang diwujudkan Allah dalam ukuran tertentu sesuai dengan kehendakNya. Maka kehendak Allah di zaman azaly bahwasanya Anda akan menjadi ahli ilmu (‘alim) disebut dengan qadha, dan penguasaan ilmu pada diri Anda sesudah keberadaanmu di dunia sebagaimana kehendakNya itu dinamakan qadar. Dengan kata lain, qadar  adalah aplikasi dari qadha.

            Sementara menurut penganut Ahl al-Sunnah wa al- Jama’ah versi al-Maturidiyah, qadha adalah segala sesuatu yang diwujudkan Allah berdasarkan pengetahuanNya akan sifat-sifat makhluk (baik dan buruk, manfaat atau bahayanya dan sejenisnya)pada zaman azaly, sedang qadar diartikan sebagai segala sesuatu yang diwujudkan Allah di luar zaman azaly sesuai dengan pengetahuanNya. Jadi pengetahuan Allah di zaman azaly bahwasanya seseorang akan menjadi ahli ilmu sesudah berada di alam dunia, disebut qadha dan menganugerahkan ilmu padanya sesudah berada di dunia disebut dengan qadar. Dalam soal ini, pendapat al-Asy’ariyah lebih masyhur ketimbang pendapat al-Maturidiyah. Singkat kata, qadha itu bersifat qadim (terdahulu) dan qadar bersifat haadits (baru). Baik Al-Asy’ariyah maupun al-Maturidiyah sepakat bahwa qadha dan qadar adalah bermakna kehendak Allah Ta’ala.[4]

            Adapun kata “takdir” yang sering digunakan dalam bahasa pergaulan manusia pengertiannya sebangun dengan qadar. Kata tersebut berasal dari kata qaddara yang akar katanya adalah qadara yang bermakna antara lain mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, “Allah telah menakdirkan demikian’” maka itu berarti, “Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhlukNya” Dengan begitu mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu, dan Allah Swt.menuntun dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju.[5]

Kontroversi Seputar Iman Kepada Qadha dan Qadar

Memang di dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara eksplisit keimanan kepada qadha dan qadar, berbeda dengan keimanan kepada lima perkara lainnya yang disebutkan dengan tegas. Al-Qur’an hanya melukiskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta telah ditetapkan atau ditentukan kadar dan waktunya[6] Apa saja yang dikehendakiNya pasti terjadi, sebaliknya apa saja yang tidak dikehendakiNya maka tidak akan terjadi.[7]Meski tidak disebutkan sebagai bagian keimanan secara spesifik, bukan berarti keimanan kepada qadha dan qadar tidak penting. Ia dianggap telah implisit ke dalam iman kepada Allah SWT. dikarenakan keduanya saling terkait erat.

Adapun keimanan kepada qadha dan qadar secara tegas dapat ditemukan dalam hadits riwayat Muslim dari Umar ibn Khaththab r.a[8] yang terkategori hadits Ahad[9]. Mengenai status hadits Ahad, kalangan penganut madzhab Hanafy, madzhab Syafi’I, jumhur madzhab Maliky, dan selainnya menganggap bahwa hadits Ahad itu tingkat elektabilitasnya sebatas zhan (persangkaan); kendati demikian tetap wajib diamalkan. Berbeda dengan pendapat Imam Ahmad (madzhab Hambaly), sebagian ahli hadits, Dawud al-Zhahiry, dan ibn Hazm yang menyatakan bahwa tingkat elektabilitas hadits ahad yang bisa mencapai derajat ilmu al-yaqin[10] dan wajib diamalkan, karena tidak boleh beramal tanpa ilmu.[11]

            Kontroversi penerimaan terhadap qadha dan qadar ini juga disinggung oleh Quraish Shihab dalam pembahasan tematis tentang qadha dan qadar. Beliau mengemukakan bahwa Alqur’an memang tidak menggunakan istilah “rukun” untuk takdir, bahkan tidak pernah pula menyebut kata takdir dalam suatu rangkaian ayat yang berbicara tentang kelima perkara keimanan lainnya[12] Bahkan Nabi Muhammad saw juga tidak menyebutkan  demikian dalam hadits Jibril yang berbicara  tentang iman, Islam, dan ihsan. Karena itu, agaknya dapat dimengerti jika sebagian ulama tidak menjadikan qadha dan qadar sebagai salah satu rukun iman. Akan tetapi bukan berarti bahwa takdir tidak wajib dipercayai. Karena Allah SWT menuntut keimanan menyangkut segala sesuatu yang disampaikan Rasulullah saw., baik dalam enam perkara yang disebutkan dalam hadits Jibril tadi maupun perkara lainnya yang tidak disebutkan.[13]

Salah Kaprah Seputar Klasifikasi Qadha dan Qadar

            Di tengah masyarakat Muslim khususnya di Indonesia masih banyak orang-orang yang mempercayai bahwa masalah umur, jodoh, rezeki, bahagia atau celaka merupakan ketentuan Allah yang tidak mungkin berubah (Qadha Mubram)[14], sehingga sekuat apapun usaha manusia tetap saja tidak akan mampu merubahnya. Implikasinya menjurus kepada tumbuhnya sikap-sikap apatisme dan fatalisme, etos kerja dan etos juang mereka pun melemah. Keyakinan ini merujuk kepada penjelasan Rasulullah Saw.,tentang penciptaan manusia beserta nasibnya yang diuraikan dalam hadits riwayat al-Bukhary dan Muslim sebagai berikut:

عَنْ اَبِى عَبْدِ الرَّحْمٰنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ (ض) قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ  ص.م وَ هُوَ الصَّادِقُ اْلمَصْدُوْقُ: اِنَّ اَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ اُمِّهِ اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذٰلِكَ, ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذٰلِكَ, ثُمَّ يُرْسَلُ اِلَيْهِ اْلمَلَكُ فَيُنْفَخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَيُؤْمَرُ بِاَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ, وَاَجَلِهِ, وَعَمَلِهِ, وَشَقِيٌّ اَوْ سَعِيْدٌ. فَوَاللهِ اَلَّذِىْ لاَ اِلٰهَ غَيْرُهُ اِنَّ اَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ اَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا اِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ اْلكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ اَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا, وَاِنَّ اَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ اَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا اِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ اْلكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ اَهْلِ اْلجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا            (رواه البخارى و مسلم)                                                   
      Dari Abu Abdurahman, Abdullah ibn Mas’ud r.a berkata: Rasulullah saw telah bertutur kepada kami, dan beliau adalah orang yang jujur dan dipercaya: ”Sesungguhnya salah seorang di antara kalian  akan dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 (empat puluh) hari berupa sperma, kemudian menjadi segumpal darah dalam tempo yang sama, kemudian menjadi segumpal daging dalam tempo yang sama, kemudian diutuslah seorang malaikat yang meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan untuk menuliskan 4 (empat) kalimat; yakni dituliskan rezekinya, umurnya, amalnya, dan bahagia atau celakanya. Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia, sesungguhnya salah seorang di antara kalian sungguh beramal dengan amalan penghuni surga sehingga jarak antara dia dan surga tinggal sehasta. Lalu ketetapan Allah berlaku lebih dulu atasnya (tertulis penghuni neraka), lalu ia beramal dengan amalan penghuni neraka hingga akhirnya ia memasukinya. Dan sesuangguhnya salah seorang di antara kalian sungguh beramal dengan amalan penghuni neraka sehingga jarak antara ia dan neraka tinggal sehasta, lalu ketatapan Allah lebih dulu berlaku atasnya (tertulis ahli surga), lalu ia beramal dengan amalan penghuni surga sampai akhirnya ia masuk ke dalamnya.”(H.R. al-Bukhary dan Muslim) 

            Hadits ini dipakai oleh sebagian besar umat Islam sebagai justifikasi atas berlakunya qadha mubram, yakni ketetapan Allah yang tak mungkin berubah menyangkut umur, rezeki, amal, bahagia atau celakanya seseorang. Akan tetapi substansi hadits ini nampak bertentangan dengan Q.S.Ar-Ra’d ayat 39 yang menjelaskan kemungkinan berubahnya qadha Allah Swt termasuk dalam empat perkara tersebut. Ditegaskan dalam firmanNya:

يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَ بُثْبِتُ وَ عِنْدَهُ اُمُّ الْكِتَابِ                                                                   
            Allah akan menghapus apa-apa yang dikehendakiNya dan menetapkan (apa-apa yang dikehendakiNya), dan di sisiNya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).”

Ibnu Abbas r.a menafsirkan ayat ini secara tegas bahwasanya Allah bisa mengganti atau menetapkan apa saja yang Dia kehendaki selain kematian, kehidupan, bahagia dan celaka karena hal itu sudah selesai ditetapkan olehnya pada zaman azaly, sehingga tidak bisa dirubah lagi.

Pendapat beliau inilah yang dianut  oleh sebagian besar umat Islam yang apabila kita timbang maslahat dan madharatnya, maka lebih cenderung kepada timbulnya madlarat yang lebih besar. Dampaknya sangat terasa terutama pada masa penjajahan, di mana nyaris setiap jengkal tanah negeri kaum Muslimin terjajah oleh bangsa kafir dalam waktu yang lama.. Kendati ada beberapa perlawanan, akan tetapi tidak terlalu signifikan karena propaganda yang menganggap penjajahan itu sebagai takdir yang harus dijalani. Lalu kemunduran umat Islam dalam bidang ekonomi,  perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketegangan sosial antara umat Islam dengan non Muslim antara lain dipicu oleh  pemahaman yang keliru tentang qadha dan qadar.

Padahal jika kita menelaah lebih lanjut  tentang penafsiran ayat dan hadits di atas, terdapat pendapat yang lebih brilian, positif dan konstruktif bagi kehidupan beragama umat Islam seperti pendapat dua sahabat Nabi yang utama yakni Umar bin Khaththab dan Ibnu Mas’ud r.a. Mereka berpendapat bahwa penghapusan dan penetapan segala keputusan Allah itu berlaku untuk segala perkara.[15] Dengan kata lain, tidak ada yang tetap, semua bisa berubah dengan ikhtiar sebaik dan semaksimal mungkin apa yang kita bisa.

Secara tekstual, kita akan menemukan banyak sekali keterangan Nabi tentang amalan-amalan yang dapat memperpanjang umur seperti silaturahmi, sedekah,  dan do’a.[16] Begitu pula soal rezeki, ada hal-hal yang dapat menarik rezeki dan yang menghambat rezeki.[17] Lalu dalam soal amal, bahagia dan celakanya seseorang, Allah Swt. lebih menekankan ikhtiar yang sungguh-sungguh dari kita untuk merubah nasib,[18] disertai dengan do’a agar husnul khotimah (akhir hidup yang baik) dan supaya Allah jangan menyesatkan hati kita setelah Dia memberi petunjuk (hidayah).[19].Hal itu semua merupakan indikasi bahwa keempat perkara dimaksud tadi besar kemungkinan dapat berubah. Jika tidak mungkin berubah, mustahil Nabi Saw. menyampaikan hadits tentang panjang umur dan seterusnya.

Adapun secara faktual, tidak ada seorang pun yang dapat melihat dan mengetahui bagaimana nasibnya yang tertulis di Lauh al-Mahfuzh, apakah panjang umur atau pendek umur?, siapakah jodohnya?, bagaimana rizkinya?, apakah kaya atau miskin?, apakah amalnya itu amalan penghuni surga atau neraka?, dan apakah akhir hayatnya husnul khotimah atau su’ul khotimah? Semuanya masih gelap dan gaib. Karena itu kita harus berusaha sambil berdo’a agar panjang umur, jodoh harus dicari, rezeki mesti dijemput dengan kerja keras dan kerja cerdas, hidup kaya yang bertaqwa mesti diupayakan, serta mendekati sumber-sumber hidayah dan menjauhi sumber-sumber maksiyat supaya bisa wafat husnul khotimah. Singkat kata, kita dituntut untuk terus merubah diri dengan berdo’a, berusaha dan akhirnya bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Kuasa.

Cara Efektif Aplikasi Keimanan Kepada Qadha dan Qadar

            Beriman kepada qadha dan qadar memiliki makna membenarkan bahwasanya Allah Ta’ala telah menakdirkan segala kebaikan dan keburukan di zaman azaly sebelum menciptakan seluruh makhluk. Maka tidak ada kebaikan dan keburukan, kemanfaatan dan kemadlaratan, kecuali dengan qadha dan qadar Allah, kehendak dan idzinNya. Apa saja yang ditakdirkan olehNya, pasti terjadi dan apa saja yang tidak dikehendakiNya, tidak akan terjadi. Allah Ta’ala berfirman: “Sesngguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadaq tertentu.”(Q.S.AlQamar:49)  

            Semua perbuatan hamba-hamba Allah, baik yang berdasarkan kehendsk manusia sendiri (ikhtiyariyah) maupun”pemaksaan”dari Allah (idlthirariyah) semuanya diciptakan olehNya. Akan tetapi setiap hamba memiliki bagian ikhtiar untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya yasng dinamakan dengan kasab. Dan karenanya manusia mendapat beban taklif berupa pelaksanaan hukum-hukum syari’at, yang akan menyebabkan dirinya mendapat pahala atau siksaan. Adapun terhadap segala bentuk kemaksiyatan dan kekufuran, kita tidak diperbolehkan ridha (rela) terhadapnya. Sebab Allah Ta’ala pun tidak meridloinya. Jadi kemaksiyatan atau kekufuran adalah ekses dari kebijakanNya (maqdhi ‘alaih) dan hal tersebut bukanlah qadhaNya. Di dalam al-Qur’an ditegaskan: “Dan Dia tidak ridho terhadap kekufuran pada hamba-hambaNya (Q.S.AZ-Zumar :7) [20]

Adapun cara efektif untuk mengaplikasikan keimanan kepada qadha dan qadar adalah sebagai berikut:

1.   Memilih takdir yang terbaik untuk diri kita.

            Segala episode kehidupan manusia tidak terlepas dari takdir baik atau buruk. Sehat atau sakit, sukses atau gagal, untung atau rugi, senang atau susah, semuanya berada dalam takdir ilahi. Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat memberi kebebasan memilih kepada manusia, bahkan hingga dalam soal nukmin atau kafir.[21] Seluruhnya tinggal terserah kita. Karena masing-masing pilihan ada resiko dan akibat yang ditimbulkannya, dan kita harus bertanggungjawab atas hasil pilihan tersebut. Namun sebagai mukmin yang baik, kita diperintahkan untuk memilih takdir yang terbaik untuk kita dan semaksimal mungkin menghindarkan kemungkinan buruk yang akan menerpa kita.

Dengan bagian ikhtiar yang diberikan Allah, manusia diberi kebebasan memilih yang baik atau buruk. Menurut Al-Qur’an, demikian Mahmud Syaltut, manusia bebas  memilih perbuatan yang akan dilakukannya. Ia bebas pula menentuksan kepercayaaan yang dianutnya dan dia akan memperoleh sesuatu baik hukuman atau pahala sesuai dengan pilihannya itu. Allah hanya menunjukkan jalan yang seyogyanya diikuti oleh manusia. Manusia bebas memilih untuk menuruti atau tidak menuruti jalan itu. Allah tidak mengganggu pilihan manusia. Oleh karena itu manusia harus melakukan penyelamatan atas drinya dan penyelamatan ini hanya terdapayt dalam beriman dan beramal saleh. Beramal saleh artinya berbuat sesuatu yang baik yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan masyarakat. Di dalam Al-Qur’an perkataan iman selalu diikuti dengan perkataan amal saleh sebagai syarat bagi manusia untuk memasuki surga yang telah disediakan Allah.[22]

Dalam sejarah Islam, kita dicontohkan oleh para sahabat bagaimana kita mesti meemilih takdir yang terbaik untuk diri sendiri. Misalnya ketika Sayyidina Ali krw. berteduh di bawah bangunan tua yang hampir runtuh, lalu beliau segera pindah menghindar. Ketika ditanyakan kepadanya mengapa ia menghindasr dari takdir Tuhan?, lalu jawaban beliau: “Saya menghindari takdir Allah (yang jelek yakni tertimpa reruntuhan bangunan) untuk menuju takdir Allah yang lebih baik lagi (selamat dari reruntuhan)”[23]

Maka janganlah tergesa-gesa menyalahkan Allah apabila seseorang menderita sakit, gagal atau rugi, menjadi bodoh, miskin, atau kafir. Sebaliknya introspeksilah diri  sendiri, sudah sejauh manakah usahanya untuk memperbaiki nasib agar menjadi lebih baik dan terhindar dari musibah atau nasib yang kurang menguntungkan tadi. Jika kita sudah sekuat tenaga berjuang untuk memilih takdir yang baik, tapi akhirnya buruk juga, maka di sinilah gunanya bertawakkal, yakni menyerahkan hasil akhir upaya kita kepada Allah sesudah kita berusaha semaksimal mungkin. Barulah kita membutuhkan langkah kedua yang konstruktif dalam memahami takdir yaitu jangan berburuk sangka terhadap segala keputusannnya.
             
           
2.      Berbaik sangka terhadap segala keputusan Allah

            Sebagai Dzat Yang Maha Bujaksana tentu Allah selalu mempwerhatikan sisi-sisi kemaslahatan untuk makhluknya dan menjauhkan mereka dari segala hal yang dapat merugikan mereka. Karena itulah di setiap keputusanNya pasti terdapat hikmah yang dapat dipetik.di kemudian hari yang pasti bermanfaat untuk kematangan jiwa dan kesuksesan setiap hambaNya. Hanya saja manusia terlalu mudah terbawa kepada kenikmatan sesaaat. Tidak sedikit yang menganggap dirinya mengalami kenahasan atau bernasib apes tatkala mengalami musibah atau episode yang buruk lainnya. Padahal belum tentu nasib malang yang diterimanya adalah suatu wasilah atau jembatan untuk menuju kondisi yang jauh lebihnbaik dari sebelumnya.

            Abu Nashr Muhammad bin Abd al-Rahman al-Hamdany memaparkan beberapa peristiwa pahit yang dialami oleh para pendahulu kita seperti Nabi Isa a.s.yang difitnah, dicaci maki, bahkan mau dibunuh oleh kaumnya, Bani Israil, namun justeru penderitaan itulah yang membuat Nabi Isa dinaikkan ke langit kedua, yang berarti derajat beliau ditinggikan oleh Allah Ta’ala. Begitu pula dengan nasib Nabi Yusuf a.s yang ditakdirkan Allah menjadi Raja di Mesir, tapi uniknya sebab-sebab yang mengantarkan beliau kepada derajat mulia itu adalah perlakuan yang buruk dari saudara-saudaranya. Mereka iri dengki (hasud) kepada Yusuf yang ternyata lebih disayangi oleh ayah mereka, Nabi Ya’kub a.s., sehingga mereka merancang skenario pembunuhan Yusuf. Tapi berkat pertolongan Allah, akhirnya Yusuf selamat dari usaha pembunuhan  itu. Ia dikeluarkan dari dalam sumur dan dijual oleh kafilah pedagang yang menemukannya Rupanya ujian tidak berhenti sampai di sini. Nabi Yusuf pun dimasukkan ke dalam penjara karena difitnah telah melakukan serong terhadap  Siti Zulaikha, orang yang memungut dan membesarkannya. Justeru dari situlah akhirnya ia dipercaya menjadi pembesar Negeri Mesir berkat kejujuran dan kecakapannya.[24]

            Hikmah yang dipetik dari peristiwa di atas adalah bagaimana pun kepahitan yang kita rasakan, belum tentu itu merupakan “kebencian” dari Allah. Justeru kita harus berbaik sangka terhadap segala keputusanNya. Bahkan di kalangan ulama sufi, terdapat semboyan yang berbunyi “Af’al Allah kulluha hasanah” (perbuatan Allah seluruhnya adalah baik). Anggapan buruk manusia terhadap musibah yang terjadi, semata-mata bersumber dari hawa nafsu yang cenderung memaksakan kehendak yang buruk dan menilai sesuatu secara subyektif. Padahal jika dicermati lebih lanjut, pastilah ada blessing in disguise, di balik malapetaka, pasti ada rahmat. Sama halnya jika manusia melihat tahi lalat seseorang. Jika pandangan kita hanya tertuju pada tahi lalatnya semata, maka yang akan tergambar adalah secuil daging kenyal hitam yang menggelikan atau menjijikkan. Akan tetapi jika kita melihat secara keseluruhan wajah seseorang, justeru tahi lalat itulah yang mempermanis atau mempercantik wajah orang yang bersangkutan.

Seumpama ada orang yang sudah berusaha untuk hidup sehat dengan rajin berolah raga, berpuasa, menjaga makanan dan minuman, namun suatu hari menderita sakit juga, maka sikap terbaik bagi orang yang beriman adalah menerima takdir tersebut dengan penuh ketawakkalan dan husnu zhan. Sebab tidaklah Allah memberikan cobaan kepada seseorang melainkan dosa-dosanya akan diampuni olehNya,[25] atau ditingkatkan derajatnya, atau dilimpahkan pahala yang tak terhingga atas kesabarannya.[26] Bisa pula berarti Allah Ta’ala mencintainya. Karena jika Dia mencintai seseorang, pasti akan dicobanya.[27]Jadi sebenarnya sakit itu juga hakikatnya tidak buruk bagi seorang hamba jika dapat memahami hikmahnya.

            Demikian pula jika ada orang yang sudah bekerja keras, hidup prihatin, namn masih saja bernasib miskin, maka jangan pula berburuk sangka bahwa Allah tidak adil terhadapnya. Sebaliknya introspeksi terlebih dahulu. Bisa jadi ia masih miskin karena kebodohannya.Bukankah jika seseorang berpendidikan tinggi, nasibnya akan lebih baik? Lagi pula Allah jadikan miskin dan kaya itu hikmahnya, pertama: agar ada keseimbangan. Karena sukar dibayangkan jika semua orang hidup kaya raya. Siapakah yang mau menjadi pembantu rumah tangganya, karyawan yang bekerja di perusahaanya, atau apabila wc-nya mampat, siapakah orang kaya yang sudi melakukannya?. Sebaliknya jika semuanya hidup miskin, siapakah yang akan menolong dan menyantuni fakir miskin kalau bukan orang kaya?. Dengan adanya yang kaya dan miskin terciptalah keseimbangan dalam kehidupan manusia. Alasan kedua: adalah agar orang yang kaya dan miskin saling tolong-menolong, dukung mendukung, saling membutuhkan satu sama lain.[28] 

            Dalam lain peristiwa, ada orang yang di-PHK dari tempatnya bekerja. Saat itu dirasakannya dunia seerti mau kiamat. Bagaimana nasib istri dan anak-anaknya nanti? Terbersit tanda tanya dalam dirinya, mengapa Tuan sampai hati melakukan hal itu terhadapnya?. Akan tetapi beberapa bulan kemudian Allah menjawab pertanyaannya itu dengan episode yang indah, di mana ia dikehendaki untuk berwirausaha. Lambat laun usahanya itu berkembang maju, sehingga ia bisa merekrut banyak pemuda pengangguran menjadi karyawannya, sementara ia sendiri menjadi Bos mereka. Pada akhirnya ia berkata: “Untung saya dulu di-PHK, sehingga sekarang saya bisa jadi Bos dan punya banyak karyawan. Coba jika dahulu tidak di-PHK, mungkn terus menjadi karyawan sampai tua.”

            Demikianlah rahasia-rahasia takdir Allah yang misterius dan sulit ditebak. Yang penting kita sikapi adalah janganlah sekali-kali berburuk sangka terhadap keputusanNya, perbanyaklah introspeksi diri, yakinlah bahwa di balik malapetaka pasti ada rahamatNya.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Abd al-Mu’thy Muhammad Nawawy al-Jawy, Kasyifat al-Saja, Dar Ihya al-Kutub Al-Arabiyah, Indonesia, tt
Abu Nashr Muhammad ibn Abd al-Rahman al-Hamdany, al-Sab’iyyat fi Mawa’idz al-Bariyyat, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, 1994
Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawy, Riyad al-Sholihin, Dar el-Fikr, Libanon,1994
________________________, Al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah Muhammad ibn Ahmad ibn Nabhan wa Auladuhu, Surabaya, tt
Ahmad ad-Dairoby, Mujarrobat ad-Dairabil kabir, Daruts Tsaqofah al-Islamiyah,Beirut,tt
Ahmad  bin Hijazy al-Fasyani, Al-Majaalisus Saniyyah, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, ttp.,
Aly bin Muhammad al-Jurjany, Al-Ta’rifat, Al-Haramain Singapura, Jeddah, Indonesia,2001
Al-Habib Zain ibn Ibrahim ibn Smith Ba Alawy al-Husainy, Syarh Hadits Jibril, Dar al-Ulum wa al-Dakwah dan Dar al-Ulum  al-Islamiyah, Surabaya, 2006
Husein Qodri, Senjata Mukmin, Amanah, Banjarmasin, 1991
Ibnu ‘Atho’illah As-Sukandary, Syarh al-Hikam,  Syirkah An-Nuur Asia, Jakarta, ttp
Ibrahim al-Bajuri, Jauhar al-Tauhid, al-Syirkah al-Nur Asia, Jakarta, tt
Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Syuyuthi, Al-Jami’ al-Shoghir, Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia,tt
Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Dar al-Qolam,1966
Maulana Muhammad Zakaria al-Kandahlawi, Himpunan Fadhilah Amal, terjemahan Fadha’il Qur’an oleh A. Abdurrahman Ahmad dkk, Ash-Shaff, Yogyakarta, 2006
Muhammad Ajjaj al-Kahotib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Dar el-Fikr, Libanon,1989
Muhammad Ali Al-Shabuny, Shafwat al-Tafasir, Dar al-Fikr, Libanon, 1976
Muhammad Naway bin Umar al-Jawy,  Nashoihul ‘Ibad, Maktabah Raja  Murah, Semarang, ttp.,
Norman Vincent Peale, Berpikir Positif Setiap Hari, Terjemahan “The Positive Principle Today” oleh Joko Khohar, Ragam Media, Yogyakarta, 2009
Sayyid Muhammad  Alawy al-Maliky, Abwaabul Faraj,  Al-Haramain Jaya Indonesia, 2001
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997
Yusuf bin Isma’il An-Nabhany, Afdholus Sholawat, Dar el fikr, Beirut, Libanon, tt
Zainuddin al-Maliabry, Irsyadul Ibad,  Syirkah Maktabah al-Madinah, Jakarta, ttp,



[1]  Yahya ibn Syaraf al-Din al-Nawawy, Matn al-Arba’in Al-Nawawiyyah Maktabah Muhammad ibn Ahmad ibn Nabhan wa Auladuhu, Surabaya,tt, hal.26
[2] Lauh Mahfuzh ialah batu tulis yang terbuat dari cahaya, tempat Allah SWT.menuliskan semua keputusanNya terhadap semua makhlukNya.hingga hari kiamat.Lebih lanjut lihat.Al-Syekh Ibrahim al-Baijury, Jauhar al-Tauhid, Al-Syirkah al-Nuur Asia, tt, hal108
[3]  Zaman Azaly adalah zaman di saat Allah belum menciptakan segala sesuatu. Azaly berarti pula qadim, yakni sesuatu yang tidak didahului oleh ketiadaan. Lihat: Al-Syarif ‘Aly ibn Muhammad al-Jurjany, Al-Ta’rifat, Al-Haramain, Singapura-Jeddah-Indonesia,2001, hal.15.
[4]  Abu Abd al-Mu’thy Muhammad Nawawy al-Jawy, Kasyifat al-Saja,Dar Ihya al-Kutub al-Arobiyyah, Indonesia, tt. hal.12.
[5]  Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997, hlm.61
[6]  Lihat: Q.S.9:51, Q.S.57:22.
[7]  Lihat Q.S.2:102, Q.S.3:145
[8] Yahya bin Syaraf al-Din al-Nawawy, op.cit., hlm. 16-17
[9] Hadits Ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat Mutawatir atau disandarkan kepada seorang perawy (lihat:Zain al-Din Muhammad ibn Bir Ali Muhyi al-Din al-Barkawy,al-Thariqah al-Muhammadiyah, Syirkah Bungkul Indah, Surabaya, hal.3,
[10] Ilmu al-yaqin maksudnya adalah keyakinan yang didasari oleh ilmu pengetahuan
[11] Muhammad Ajjaj al-Khotib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Dar al-Fikr, Libanon,1989, hal.302-303
[12]  lih. Q.S.Al-Baqarah :285, Q.S.An-Nisa’ :136
[13] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997, hal. 65-67
[14]  Sebagaimana telah diketahui, bahwasanya Qadha itu terbagi dua bagian yakni Qadha Mubram, keputusan Allah yang tidak mungkin berubah meliputi umur, rezeki, amal dan bahagia atau celakanya seseorang, dan Qadha Muallaq : Keputusan Allah yang dapat berubah jika seseorang berusaha merubahnya yang meliputi selain empat perkara tadi seperti bodoh atau pintar, gagal atau sukses,dan sejenisnya. Sebenarnyakeyakinan ini berasal dari pendapat ibnu Abbas r.a yang nanti akan dibahas lebih lanjut dalam bagian ini.
[15]  Muhammad Ali al-Shabuny, Shafwat al-Tafasir, Dar el-Fikr, Beirut, Juz II, hlm.87
[16]  Di antara yang dapat memperpanjang umur: silaturrahmi(H.R. al-Bukhary dan Muslim, sedekah dan do’a (H.R.al-Tirmidzy)
[17] Di antara yang menambah rezeki ialah sedekah (H.R.al-Baihaqy, Ibnu ‘Ady dan Abu Syekh), beristighfar  (Q.S.71:10-12):
[18] Lihat Q.S.13:11, Q.S.29:69
[19] Lihat : Q.S.3:8
[20] Al-Habib Zain ibn Ibrahim ibn Smith Ba ‘Alawy al-Husainy, syarh Hadits Jibril, Dar al-Ulum wa al-Dakwah wa Dar al-Ulum al-Islamiyah,Surabaya,2006, hal.135-136.
[21] Lih.Q.S.Al-Kahfi: 29
[22] Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Dar al-Qalam,1966:52-53
[23] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997: hal.64
[24] Abu Nashr Muhammad ibn Abd al-Rahman al-Hamdany, al-Sab’iyyat fi Mawa’izh al-Bariyyat, Maktabah Usaha keluarga, Semarang, 1994, hal.15
[25] Abi Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawy, Riyadh al-Shalihin, Dar al-Fikr, Libanon, 1994, hal.17
[26] lih. Q.S.Az-Zumar : 10
[27] Abi Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawy, op.cit. hal.18
[28] lih. Q.S.Az-Zukhruf : 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulis Pesan atau komentar dengan sopan!