MENGELOLA
EMOSI SECARA ISLAMI
Oleh:
Cep Herry Syarifudin
Setiap orang pasti pernah marah. Hanya saja masing-masing berbeda
cara dalam mengatasinya. Ada yang mampu mengelola emosinya dengan baik sehingga
tidak menimbulkan dampak negative dan merusak; lalu ada pula yang melampiaskan
emosinya secara berlebihan sehingga menimbulkan kerugian banyak pihak baik diri
sendiri, keluarga atau orang lain.
Hal yang penting dipahami adalah bahwa tidak semua amarah atau
emosi itu buruk. Adakalanya amarah itu diperlukan pada kondisi tertentu dan
adakalanya amarah itu perlu diredam atau dikendalikan. Jadi amarah tidak boleh
dihilangkan begitu saja, namun jangan pula dilampiaskan sekehendak hati. Sebab
marah itu sesungguhnya salah satu potensi yang dianugerahkan Allah kepada
manusia guna mengatasi problem kehidupan tertentu yang dihadapinya. Pada sisi
inilah manusia diharapkan agar dapat memanfaatkan potensi itu sesuai pada
tempatnya.
Ajaran Islam memberi tuntunan bahwa amarah suatu saat diperlukan.
Misalnya ketika agama Islam dilecehkan, ajarannya dihina, penganutnya ditindas
atau dibantai, kitab sucinya diinjak-injak atau dibakar. Begitu juga seorang
sumai pantas marah jika isterinya berselingkuh atau menegurnya jika lalai
menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri. Demikian pula orang tua yang
mengetahui anaknya berbuat maksiyat, ia diperbolehkan memarahi anaknya itu.
Karena jika ia bersikap permissive (masa bodoh terhadap perbuatan asusila),
maka ia termasuk golongan “Dayus”, yaitu
orang yang membiarkan anggota keluarganya melakukan kemungkaran.
Merekalah golongan yang dilaknat Allah. Naudzu billahi min dzalik.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhori-Muslim, Siti
‘Aisyah r.a menjelaskan bahwa Rasulullah s.a.w. tidak pernah marah kepada siapa
pun kecuali jika peraturan-peraturan agama dilanggar oleh seseorang. Akan
tetapi marahnya Rosul tidaklah berlebihan. Beliau tetap mengendalikan dirinya.
Setidaknya terlihat mukanya kemerah-merahan atau sedikit dipalingkan. Seperti
ketika Usamah bin Zaid meminta keringanan hokum potong tangan kepada Nabi untuk
seorang wanita bangsawan dari suku Makhzumiah. Lalu Nabi s.a.w. kelihatan marah
seraya berkata: “Apakah kamu mau meminta keringanan terhadap hukum yang telah
ditetapkan Allah ?” Kemudian beliau berpidato: “Sesungguhnya kaum sebelum kamu
binasa dikarenakan bila pemuka mereka mencuri, maka hukum tidak ditegakkan,
tetapi jika yang mencuri itu orang yang lemah (wong cilik), maka mereka
menegakkan hukum padanya. Demi Allah,
jika Fatimah binti Muhammad mencuri,
pasti aku potong tangannya.”
Di lain waktu, Rasulullah s.a.w. pernah gusar ketika melihat dahak
pada arah kiblat (H.R.Bukhari-Muslim dari Anas) atau ketika beliau mendengar
laporan bahwa si fulan terlalu lama bacaan shalatnya, sehingga ada orang tua
yang telat shalat Shubuhnya karena enggan bermakmum kepadanya.
Kiat Mengatasi Emosi
Ada beberapa cara yang efektif untuk mengendalikan emosi
berdasarkan tuntunan ajaran Islam. Cara ini jauh lebi mendewasakan emosi
seseorang mukmin, latihan berjiwa besar, menjauhkan diri dari provokasi
(godaan) setan sebgai sumber pemancing emosi, dan mendatangkan ketenangan batin
dalam perlindungan ALLAH SWT. Adapun beberapa tuntunan Islam dalam meredam
emosi, yaitu :
Pertama,
Jika Anda marah, sebaiknya diam. Jangan biarkan mulut Anda berbicara semaunya.
Dikhawatirkan akan keluar kata-kata yang bisa berakibat buruk, seperti
talak/perceraian antara suami istri, kutukan orang tua terhadap anaknya,
pemecatan atasan kepada bawahannya, pengusiran atau pemutusan hubungan
keluarga, dan hal-hal lain yang menyakitkan. Semua itu akan berakhir dengan
penyesalan. Jika emosi telah memuncak, lalu merambat naik ke otak, maka otak
pun tidak bisa berpikir normal, akhirnya keluar ucapan yang berakibat fatal dan
tindakan yang brutal. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jika salah seorang di
antara kalian marah, maka diamlah.” (H.R.Ahmad)
Kedua,
berwudlu. Air wudlu yang menyejukkan akan banyak membantu menurunkan tensi
emosional seseorang. Emosi menurut al-Ghazali bagaikan api yang tersembunyi di
dalam hati seperti bara di dalam abu. Bahkan beliau memprediksi bahwa emosi
berasal dari api yang dahulu digunakan ALLAH untuk menciptakan setan. Karena
itulah Rasulullah s.a.w. memberi analisa logis meredam emosi dengan berwudlu.
Dalam hadits diterangkan sebagai berikut: “Marah itu dari api, maka jika
salah seorang di antara kalian marah, maka berwudhulah.”
Ketiga,
berlindung kepada ALLAH. Setiap kali kita marah, segeralah berlindung kepada
ALLAH dari jerat-jerat setan yang ingin menguasai diri kia melalui emosi, serta
dari bahaya amarah yang dapat mencelakakan siapa saja. Bermohonlah agar Tuhan
menganugerahkan kesabaran dan kekuatan mental. Tanpa bantuanNya, sulit sekali
mengendalikan amarah yang sedang bergejolak. Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Apabila seseorang marah, lalu ia berdo’a : “Aku berlindung kepada ALLAH”,
maka akan tenang amarahnya.” (H.R.Ibnu ‘Adi dari Abu Hurairah).
Keempat,
melakukan apa saja yang dapat mengurangi kadar emosi. Nabi s.a.w. memberi
petunjuk apabila kita marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah; dan
apabila belum juga reda amarahnya, maka
berbaringlah. (H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban). Tuntunan tersebut pada
intinya menawarkan solusi alternative dalam meminimalisir emosi. Adapun
mengenai aspek teknisnya tidak hanya terbatas pada cara-cara tersebut.
Cara-cara lain pun bisa dikembangkan, misalnya melalui media “curhat”
(mencurahkan isi hati) kepada orang lain lewat konsultasi, atau melalui media
jejaring sosial seperti facebook, twitter, atau menuangkannya dalam buku
catatan pribadi, dan cara-cara lain yang dibenarkan. Tentunya saja dengan tetap
mengindahkan nilai-nilai kesantunan berbahasa.
Kelima,
jauhi obyek yang memancing kemarahan. Cara ini pernah ditunjukkan Nabi s.a.w.
ketika berhadapan dengan Wahsyi, budak belian yang membunuh paman Nabi, Hamzah
bin Abdul Muthalib, yang sangat dicintainya. Setelah memaafkan Wahsyi, Nabi
menyuruhnya untuk segera pergi. Karena kalau Wahsyi terus berada di hadapannya,
dikhawatirkan Nabi tidak kuasa menahan amarahnya, sehingga berbuat zhalim kepada
budak belian tersebut. Demikian pula jika ada kedua belah pihak bertengkar,
sebaiknya salahsatunya tidak melayani dan segera menghindar sementara untuk
meredam emosi di antara mereka.
Keenam, menyadari bahwa segala yang mengecewakan itu telah tertulis
takdir dan ajal(batas)nya. Karenanya, setiap orang perlu belajar menerima
kenyataan apa adanya. Suatu ketika Nabi s.a.w. melihat seorang ibu yang sedang
memarahi anaknya karena telah memecahkan wadah dari keramik. Kemudian nabi
menasehati si Ibu: “janganlah kamu memarahi anakmu karena memecahkan wadah.
Sesungguhnya wadah itu memiliki ajal sebagaimana makhluk yang bernyawa.” Wadah
yang telah pecah tidak mungkin bisa rapat kembali dengan amarah. Mari kita
renungkan: marah tetap pecah, tidak marah juga tetap pecah. Jadi lebih baik
tidak usah marah, agar tidak merugi lahir batin.
Secara psikologis, orang yang marah kondisi jiwanya tidak menentu.
Bahkan panca inderanya tidak dapat berfungsi normal. Prof.Dr.Zakiah Drajat
pernah menggambarkan bahwa orang yang mencari kacamata sambil marah-marah
dipastikan akan sulit menemukannya. Karena penglihatannya saat itu tidak
berfungsi secara normal, meskipun kacamata itu jelas-jelas sudah ada di
hadapannya.
Mengendalikan emosi termasuk jenis kesabaran yang akan membuahkan
pahala yang besar di sisi ALLAH. Umar bin Khatthab r.a berkata : “Jika engkau
bersabar, maka keputusan ALLAH –berupa hal yang tidak diinginkan- tetap
berjalan dan engkau mendapat pahala. Sedangkan jika engkau berkeluh kesah,
ketentuan ALLAH itu tetap terjadi dan
engkau berdosa karenanya.” Maka dengan menyadari sia-sianya marah dan untungnya
bersabar, di samping bersedia menerima kenyataan, serta menikmati segala
ketentuan Tuhan baik dan buruknya, insya ALLAH seseorang akan bisa mengelola
emosinya setahap demi setahap sehingga kelak akan mudah dikendalikan. Wallahu
a’lam bis showaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis Pesan atau komentar dengan sopan!